Oleh Sulthan Alfaraby, Inisiator Angkatan Pemuda Peduli Aceh, melaporkan dari Kota Banda Aceh.
Pada hari Minggu, 10 Oktober 2021 saya dan tim menyempatkan diri untuk mengunjungi sejumlah makam para pendahulu Aceh. Salah satu yang membuat kami terfokus adalah makam Tgk Di Kandang dan makam Putro Ijo di Gampong Pande, Banda Aceh. Menurut literatur dan informasi yang kami dapatkan sebelumnya, Tuan Di Kandang merupakan ulama besar yang wafat pada ratusan tahun yang lalu. Beliau menjadi penggagas berdirinya Kerajaan Aceh.
Ulama ini merupakan ayah dari para sultan-sultan pemimpin Aceh masa silam. Beliau dikenal bernama Machdum Abi Abdullah Syekh Abdurrauf Al-Baghdadi atau digelari Tuan Di Kandang. Sedangkan Putroe Ijo, merupakan puteri Sultan Kerajaan Aceh Darussalam. Berdasarkan informasi dari dalam komplek makam, beliau dinamakan Putro Ijo karena kecantikan dan keindahan beliau.
Selain makam Putro Ijo, terdapat juga makam-makam lainnya di sekitar lokasi yang merupakan anggota kerajaan Sultan Aceh Darussalam. Ternyata, makam ini sudah direposisi batu nisannya pada tahun 2013 dengan alasan rusak berat akibat gempa dan tsunami tahun 2004 silam. Begitulah informasi yang tertulis di komplek makam. Perjalanan yang memakan waktu beberapa menit dari pusat Kota Banda Aceh kemudian kami sampai ke destinasi tujuan.
Dengan mengucap salam, masuklah kami di komplek makam Tuan Di Kandang. Kami berjumpa dengan sejumlah pekerja lapangan yang sedang membersihkan rumput yang mulai tumbuh memanjang. Tak ramai, mereka hanya 3 orang. Kami pun menyempatkan diri untuk berdiskusi bersama sembari menikmati kopi yang sudah disediakan.
Di tengah asyiknya diskusi, lalu kami dihampiri oleh belasan mahasiswa Kuliah Pengabdian Masyarakat (KPM) UIN Ar-Raniry. Akhirnya, mereka juga ikut bergabung berdiskusi dengan kami untuk saling membicarakan sejarah masa lampau. Kendati hanya pembicaraan yang sederhana, namun kami punya hajatan besar mengenang keberadaan Tuanku Di Kandang, sebagai ulama besar penggagas lahirnya Banda Aceh sebagai pusat Kerajaan Aceh ratusan tahun silam. “Kita mengenang orang-orang yang telah berjasa di Aceh, ini adalah sebuah pembelajaran yang berharga,” ujar saya sembari membuka diskusi kecil-kecilan ini.
Sambil menyeruput segelas kopi, sesekali saya melirik di sekitar area makam dan terlihat di tengah-tengah kompleks makam terdapat banyak nisan kuno. Makam Tuanku Di Kandang juga diberi atap, pertanda makam ini adalah makam orang yang dimuliakan. Sekitar kurang lebih 1 jam kami bercengkerama dan melihat-lihat makam bersejarah tersebut, kami langsung berpamitan dengan pekerja di makam dan mahasiswa KPM dan langsung menuju makam Putro Ijo yang tak jauh berada dari lokasi Tuanku Di Kandang. Nisan-nisan terlihat tertata rapi, sebagian nisan tampak sudah tua dan juga banyak rumput-ruput hijau menyelimuti area makam.
Di depan area makam, terdapatlah sebuah tulisan untuk menyebutkan komplek Makam Putroe Ijo. Siang yang terik itu terlihat tidak ada pengunjung yang hadir ke sana. Suasana sepi dan terdengar suara alunan zikir dari masjid. Usai berdoa untuk para pendahulu Aceh tersebut, kami menyempatkan diri untuk berkeliling melihat informasi yang terdapat pada makam.
Ternyata putri tersebut dinamakan Putroe Ijo adalah karena kecantikan dan keindahannya yang terkenal hingga ke pelosok Aceh. Di sekitar, juga terdapat makam-makam anggota keluarga kesultanan Aceh Darussalam yang dimana makam tersebut telah direposisi batu-batu nisannya pada tahun 2013 setelah rusak akibat gempa dan tsunami Aceh 2004 silam. Akhir perjalanan, kami berharap agar kita tidak lupa akan sejarah bangsa. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya, kita juga berharap kepada banyak pihak untuk mendorong para anak bangsa agar tidak melupakan jasa para pendahulu. Al-Fatihah.