Jakarta, SwatantraNews– Kalau media sudah mati dan tinggal nama, dia bukan lagi apa-apa. Dia tidak bisa lagi menyuarakan aspirasi publik. Dia tidak bisa lagi melakukan kritik atas kebijakan pemerintah. Dia tidak lagi menjadi wadah diskusi berbagai persoalan bangsa. Karena di sanalah dirasakan keberadaannya. Di sanalah tampak eksistensinya. Tanpa tiga tugas tadi, dia tidak ada. Dan kalau mati, dia dilupakan orang. Mungkin ditangisi dan tetapi kemungkinan paling besar adalah sekadar dikenang, Habis.
“Itulah sebab dengan berbagai daya dan upaya, semua pemilik ingin agar medianya tetap hidup,” Kata Hendry Ch Bangun, Wakil Ketua Dewan Pers Periode 2019-2022, beberapa waktu lalu.
Sekilas, Hendry Ch Bangun, dipilih sebagai Anggota Dewan Pers mewakili Unsur Wartawan. Mengawali karir sebagai Wartawan Majalah Sportif Jakarta pada tahun 1982 dan berkarir aktif sebagai Wartawan Harian Kompas Jakarta hingga pensiun di tahun 2018.
Dikatakan Hendry Ch Bangun, Di zaman kolonial kalau isi berita sebuah koran dianggap mengancam kedudukan pemerintah maka media itu diberi peringatan. Kalau keterlaluan pengelolanya dipenjara dan medianya boleh saja tetap terbit.
” Nah, Di era Orde Baru, nyawa media itu ada pada surat izin terbit. Kalau isi media dianggap mempermalukan pemerintah, pimpinannya tidak dihukum tapi SIUP-nya dicabut,” Ujarnya.
Inspirasi
Dalam suatu kesempatan rapat redaksi Jakob Oetama pernah mengutarakan mengapa dia memilih menandatangani surat perjanjian dengan pemerintah agar Kompas tetap hidup. Selain alasan agar semua karyawan dapat tetap hidup, yang terutama adalah kehadiran Kompas di tengah masyarakat. Dengan gaya yang khas Kompas masih bisa melakukan kontrol sosial, masih bisa menjadi wadah adu gagasan tokoh-tokoh di halaman opini dan berbagai diskusi, dan terus menyerap dan memberikan aspirasi wong cilik dan mengingatkan yang mapan.
Dia tahu banyak diolok-olok kolega pimpinan media karena seperti tekan kontrak untuk patuh kepada pemerintah, tetapi demi idealisme yang lebih tinggi, Jakob Oetama tidak peduli.
“Kalau koran mati, dia tidak bisa apa-apa. Tinggal sejarah,” begitu kira-kira kalimatnya kata Hendry Ch Bangun.
Dan terbukti karena kepiawaian dan kerja keras, Kompas tidak sekadar suratkabar yang membebek, tetapi justru berinovasi dengan cara peliputan dan pemberitaan, hidup dengan elegan dan disegani.
Soal “kompromi” ini juga saya pernah baca dalam versi lain pada tahun 1970-an. Ketika itu terjadi perbedaan yang tajam di Harian Merdeka pimpinan BM Diah dengan Menteri Luar Negeri Adam Malik, dua rekan seperjuangan dan tokoh pers. Merdeka selalu membuat pemberitaan kritis tentang Adam Malik sehingga mungkin dianggap sudah menjadi serangan personal, sementara tampaknya tidak ada kesempatan yang sama diberikan kepadanya. Entah karena mendapat semacam ancaman untuk dibreidel atau apa, akhirnya BM Diah membuat tulisan yang berjudul “Merunduk Tapi Tidak Patah.” Intinya adalah, Merdeka mengalah tapi tidak merasa kalah, karena mereka hanya menjalankan tugas dan berharap tetap dapat hidup.
Dari sejarah pers Indonesia kita tahu dua tokoh mengambil sikap yang berbeda. Rosihan Anwar dengan Pedoman dan Mochtar Lubis dengan Indonesia Raya, memilih suratkabarnya mati daripada tunduk kepada pemerintah. Keduanya memiliki alasan tersendiri, tetapi yang kita tahu saat ini Pedoman dan Indonesia Raya tinggal sejarah, tidak dapat lagi berbuat apa-apa. Kalau diselaraskan dengan puisi Karawang-Bekasi karya Chairil Anwar…
//Kami yang kini terbaring/antara Karawang-Bekasi/tidak bisa teriak “Merdeka” lagi…// ***
Ya, hidup itu penting bagi media. Tinggal bagaimana dia bertahan hidup dan menjadikan medianya memiliki arti penting bagi masyarakat dan bangsanya, dan dihargai koleganya.
Pasca reformasi banyak sekali media yang dibuat tanpa idealisme, itu kita akui. Media didirikan hanya untuk menyuarakan kelompoknya, ini dulu terjadi satu-dua tahun menjelang Pemilihan Umum. Ada pula media yang dibuat semata-mata untuk mencari uang, dengan cara menakut-nakuti, menuduh korupsi atau selingkuh, membuat pemberitaan sensasional, dan akan berhenti apabila disodorkan uang damai. Sampai detik inipun ada wartawan yang ditugaskan bosnya untuk mencari-cari kesalahan dengan segala cara. Salah berarti berita miring berpotensi untuk mendapatkan uang.
Cara bertahan hidup media seperti ini, tentu berbeda dengan media yang dilahirkan dengan idealisme khususnya oleh orang muda, kaum intelektual, kalangan berpendidikan, yang prihatin dengan kondisi sosial kemasyarakatan dan pemerintahan. Mereka berharap karya jurnalistiknya yang dihargai pembaca dan dari situ mereka bisa bertahan dan kadang membuat kegiatan sampingan seperti kedai kopi. Kalaupun nanti ada iklan dari dinas-dinas, itu diterima tanpa ada ikatan yang membatasi liputan mereka.
Media seperti ini karya jurnalistiknya relatif sesuai kode etik meskipun melontarkan kritik yang tajam dan membuat merah telinga pejabat di daerah. Liputan tentang kerusakan lingkungan, pertambangan yang menghancurkan warga lokal, pembentukan perkebunan komersial yang tidak ramah lingkungan dan mengabaikan kearifan lokal, kolusi pemerintah daerah dengan investor dll, menjadi lahan media seperti ini.
Semakin pesatnya pertumbuhan media siber menjadi persoalan tersendiri, karena anggaran dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten-Kota terbatas, sehingga kue yang dibagian kian kecil. Faktor kedekatan, kesediaan untuk “tunduk” dalam kemitraan pencitraan atau pemberitaan berbayar, menjadi kunci media agar tetap dapat jatah.
“Ada yang beruntung, ada yang tersisih. Dan biasanya yang kalah adalah yang idealis tadi,” Tutupnya.
(Bagian ke 1)
(*/red)