Buleleng, swatantranews – Konflik antara warga Pancasari dan PT Sarana Bhuana Handara (SBH) atau lokasi Pancasari Golf terkait penguasaan tanah negara (TN) memicu perhatian publik, terutama terhadap Perbekel Pancasari, Wayan Komiarsa.
Perannya dianggap kontroversial, terutama setelah ia mengakui telah menandatangani permohonan Hak Guna Bangunan (HGB) PT SBH tanpa adanya rencana pembangunan (site plan) yang jelas.
“Sarana Bhuana Handara sudah memohon dan sudah kami tandatangani,” ujar Wayan Komiarsa saat dimintai keterangan oleh wartawan dalam mediasi yang digelar di Kantor Desa Pancasari pada Senin, (23/12).
Dirangkum dari sumber, Konflik ini bermula dari pemasangan plang oleh PT Sarana Buana Handara pada lahan yang telah menjadi tempat tinggal warga Desa Pancasari sejak tahun 1971. Menurut Kuasa Hukum Warga, Jro Komang Sutrisna, status tanah yang sebelumnya bersertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) 044 sudah berakhir pada tahun 2012. Sejak saat itu, tanah tersebut seharusnya berstatus sebagai tanah negara. Namun, tanpa pemberitahuan, plang dipasang pada tahun 2023, disertai somasi kepada warga agar meninggalkan lahan dalam waktu tujuh hari tanpa kompensasi.
Tindakan Perbekel Pancasari ini menuai kritik dari berbagai pihak. I Gede Budiasa, perwakilan Garda Tipikor Kabupaten Buleleng Bali, Dirinya menilai bahwa penandatanganan dokumen semacam itu tanpa mengacu pada aturan tata ruang dan perencanaan yang sah.
“Berpotensi melanggar hukum,” Ujar I Gede Budiasa
Berdasarkan, Pasal 26 ayat (4) huruf K Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa salah satu kewajiban Kepala Desa adalah menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa.
Dalam melaksanakan kewenangannya, Kepala Desa dapat menggunakan langkah-langkah seperti: Fasilitasi, Mediasi, Pembinaan, Motivasi.
Namun, UU Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa tidak menjelaskan secara rinci tentang:
Jenis perkara atau perselisihan yang harus diselesaikan
Mekanisme penyelesaian
Bentuk penyelesaian
Produk putusan
Implikasi hukum
“Apakah kepala desa bertindak sebagai “hakim desa” atau sebagai mediator,” beber, Jro Budiasa.
Lanjutnya, Untuk memberikan batasan yang jelas, ada saran untuk membuat aturan pelaksana yang mengatur secara khusus tugas dan wewenang kepala desa dalam menyelesaikan perselisihan di desa.
“Kepala desa wajib menjalankan tugas sesuai peraturan perundang-undangan. Jika terbukti lalai atau sengaja mendukung tindakan ilegal, ia bisa terjerat pasal penyalahgunaan wewenang atau kelalaian administratif,” tandasnya.
Kasus ini memicu seruan agar pemerintah desa bertindak lebih transparan dan berhati-hati dalam menandatangani dokumen penting.
“Setiap tindakan harus dipastikan sesuai regulasi. Jika tidak, dampaknya bisa merugikan masyarakat dan menimbulkan konsekuensi hukum serius bagi kepala desa,” tegas Budiasa.
Ia menyebut penyusunan site plan merupakan syarat utama dalam permohonan HGB sesuai berbagai regulasi seperti UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan pemanfaatan ruang sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW).
“Begitu juga UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang mengintegrasikan sistem Online Single Submission (OSS). PP No. 16 Tahun 2021 tentang Bangunan Gedung, yang mengharuskan site plan sebagai bagian dari dokumen teknis,” sambungnya.
Ia mengingatkan, site plan harus mencakup tata letak bangunan, area hijau, fasilitas umum, serta kesesuaian dengan RTRW dan RDTR. Jika tidak dipenuhi, permohonan HGB berisiko cacat administrasi.
(*/red/**)