Jakarta, SwatantraNews- Semakin pesatnya pertumbuhan media siber menjadi persoalan tersendiri, karena anggaran dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten-Kota terbatas, sehingga kue yang dibagian kian kecil. Faktor kedekatan, kesediaan untuk “tunduk” dalam kemitraan pencitraan atau pemberitaan berbayar, menjadi kunci media agar tetap dapat jatah.
“Ada yang beruntung, ada yang tersisih. Dan biasanya yang kalah adalah yang idealis tadi,” Kata Hendry Ch Bangun, lanjutan bagian ke 2.
Dalam banyak kesempatan berkunjung ke media-media di daerah, saya kerap berdiskusi dengan pengelola berusia muda, yang ingin agar mereka bisa hidup tanpa kehilangan idealism sehingga konsisten mengeluarkan karya jurnalistik bermutu. Dengan gagahnya saya mengatakan, apapun yang terjadi, jangan pernah lupa pada kualitas. Liputan yang bermutu dalam pengertian topiknya menarik untuk dinikmati audiens, ditulis atau disiarkan bahasa yang enak dibaca atau didengar, sesuai dengan kaidah etik dan jurnalistik, pasti akan selalu dicari pembaca atau pendengar atau penonton. Tinggal lagi bagaimana memonetasi, menjadikannya terjual dan mendatangkan uang, hal yang sudah ada pula ilmunya.
Khusus untuk media daerah saya katakan, kuasailah wilayahmu. Dari referensi dan jurnal yang rutin saya baca, jelas sekali, media lokal justru memiliki kekuatan dibanding nasional, karena ada banyak kekayaan yang terpendam. Dengan semakin terhubungnya Indonesia karena teknologi, orang Banjar di Medan tetap akan tertarik membaca berita tentang Banjar yang diberitakan media di Kalimantan Selatan. Orang Batak di Papua pasti akan rutin mencari hal-hal terkait sukunya dari media di Sumatera Utara. Tinggal bagaimana pengelola media mengolahnya agar menjadi perhatian audiensnya.
Kuasailah peristiwa lokal melalui jejaring yang kuat. Ada kecelakaan kapal di sungai Mahakam, maka media yang terbit di Samarinda harus terlebih dahulu memuatnya ketimbang detik.com atau Kompas.com, misalnya. Kebakaran hutan di Sumsel seharusnya terlebih dahulu diberitakan media di Musi Rawas atau Lubuk Linggau, ketimbang oleh media nasional. Ambil gambarnya, buat beritanya.
Ini hanya bisa terjadi apabila pengelola media memiliki strategi peliputan yang jitu. Dia punya jejaring di kepolisian lokal, jaga warga lokal, tokoh karang taruna, staf rumah sakit, yang akan segera memberikan informasi cepat apabila terjadi peristiwa penting. Kejar tayang dulu. Wartawan hanya diterjunkan apabila skala atau magnitude peristiwa membesar, yang membutuhkan liputan terencana. Berapa jumlah “pencari berita” yang direkrut untuk siaga, tentu tergantung lobi. Level kabupaten bisa 20 sampai 30 orang. Saya bayangkan paling tidak sepekan sekali media itu aka nada berita eksklusif.
Kalau media lokal secara rutin membuat berita yang “mengejutkan” media nasional maka dengan sendirinya nama media itu akan terangkat, dan beritanya akan juga segera dimuat platform lokal seperti Google atau Yahoo atau yang sedang popular Tiktok.
“Walaupun media lokal, nanti berita kalian akan naik ke tingkat dunia, kalau bermutu dan cepat. Kalau eksklusif dan yang pertama muncul,” kata saya. Dan pimpinan media itu pun manggut-manggut bersemangat.
Cerita ini terjadi pada tahun 2018-2019 ketika ada ide untuk mengikat platform global, yang seenaknya mengambil berita dari media di Tanah Air dengan gratis. Untuk media nasional, pada awalnya berita diambil mungkin tidak berarti tetapi karena di Australia, Jerman, bahkan Thailand Google sudah mau bekerja sama, berbagi keuntungan, akhirnya ide yang awalnya disebut sebagai publisher’s right disepakati. Dewan Pers pun membentuk Satuan Tugas atau Kelompok Kerja yang terdiri dari unsur Dewan Pers, konstituen, Forum Pemred, Kementerian Kominfo, dsb.
Media daerah, media kecil bisa jadi peserta sejauh karya jurnalistik mereka bermutu, layak diambil, dan khas, bukan seperti sekarang yang isinya kebanyakan press release polisi atau pemda, dan terkesan sekadar asal terbit. Karena kuncinya memang konten.
Mereka ini karena akan sulit berhubungan dengan pihak platform global, tentu bagus kalau bergabung dan bersatu agar posisi tawarnya lebih kuat, terlepas dari apakah mereka sudah terverifikasi atau belum.
Apakah rupiah yang mereka peroleh nanti cukup untuk menghidupi? Belum tentu. Dan pasti akan kalah besar dalam jumlahnya dibandingkan dengan media-media besar. Tetapi kalau mereka menghasilkan good journalism, secara berkelanjutan, tentu saja peluangnya besar. Ini akan menambah daya hidup agar tidak mati. Agar mereka bisa menjalankan perannya.
Kontroversi yang mengemuka sekarang adalah soal peran Dewan Pers dan pihak-pihak yang merasa lebih berhak karena sudah banting tulang dalam merumuskan, terkait dengan badan pelaksana, apabila peraturan berjudul sementara “Tanggungjawab Platform Global dan Jurnalisme Berkualitas” ini. Sebenarnya jelas, ide itu dulu difasilitasi Dewan Pers, semua acara dan kegiatan dibiayai dari anggaran APBN Dewan Pers, baik honor, akomodasi, dan maupun biaya transportasi. Jadi semestinya apapaun hasilnya, itu haknya Dewan Pers, bukan hak pribadi dari orang-orang yang menjadi narasumber ataupun peserta diskusinya. Ya biarlah waktu yang akan menyelesaikan.
‘Don’t worry be happy’
Dunia bergerak maju dan kita tidak bisa berkutat dengan cara pikir lama. Ancaman pers sekarang ini bukan dari pemerintah, justru lebih banyak dari pemilik media, pemilik modal, pengusaha, sebagaimana hasil Survei Indeks Kemerdekaan Pers. Apabila peraturan tentang Tanggungjawab Platform Global dan Jurnalisme Berkualitas menjadikan Dewan Pers sebagai pusat dari segala pelaksanaan dan penjabarannya, itu sudah menunjukkan independensi pers itu sendiri. Karena Dewan Pers adalah kita juga, pemiliknya adalah konstituen yang terdiri dari organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers. Don’t worry be happy.,.. (*)
Sekilas pandang Hendry Ch Bangun. Aktif dalam organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan dipercaya sebagai Sekretaris Jenderal periode 2008-2013 dan 2013-2018. Hendry telah menerbitkan 3 buah buku dengan judul “Wajah Bangsa dalam Olahraga: 100 Tahun Berita Olahraga Indonesia” pada tahun 2007, “Meliput dan Menulis Olahraga” juga pada tahun 2007, serta Kumpulan Esei Olahraga di tahun 2012. Hendry yang juga merupakan tenaga Pengajar pada Sekolah Jurnalisme PWI bidang Manajemen Redaksi, pernah melakukan penyuntingan terhadap 4 buku, yaitu “Kumpulan Cerpen Wartawan Olahraga” tahun 2010 dan 2011, “Kumpulan Cerpen Sebelas Wartawan” terbitan tahun 2012, dan “Kumpulan Cerpen Sembilan Wartawan” pada tahun 2013.
(*/red)